PPH Final UMKM
P |
ada pertengahan tahun 2013 pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan ini sejatinya ditujukan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia sebab peraturan ini mengatur pengenaan pajak untuk wajib pajak yang memiliki omset kurang dari 4.8M dalam satu tahun. Salah satu alasan diterbitkannya PP 46/2013 adalah untuk memberikan kepastian peraturan dan kemudahan dalam urusan perpajakan bagi UMKM yang pada saat itu sedang berkembang.
Menurut data Badan Pusat Statistika, jumlah UMKM Indonesia tahun 2013 adalah 57.895.721 unit, sedangkan pertumbuhan jumlah UMKM Indonesia tahun itu sebesar 2,41 persen. Adapun menurut Warta KUMKM Vol 5 (2016:5), kontribusi UMKM terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari tahun 2009-2013 mencapai 57,6 persen per tahun, dengan rata-rata pertumbuhan 6,7 persen.
Prokontra terkait dengan PP 46 tahun 2013 sendiri juga telah lama berdengung. Aspek keadilan merupakan salah satu kontra yang sering disoroti mengingat pajak penghasilan PP 46/2013 termasuk dalam pajak final. Pajak yang bersifat final tidak memandang apakah hasil akhir dari usaha wajib pajak tersebut laba atau rugi, sepanjang wajib pajak memiliki omset maka wajib pajak harus membayar pajak. Dalam kondisi akhir penghasilan bersih dalam satu tahun kurang dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), wajib pajak orang pribadi UMKM tetap membayar pajak sedangkan wajib pajak orang pribadi karyawan tidak.
Tak heran jika wajib pajak mengeluh terkait tarif satu persen dari omset tersebut, sehingga akhirnya Presiden Jokowi mengajukan usulan untuk menurunkan tarif pajak bagi wajib pajak UMKM. Beliau awalnya mengajukan usul penurunan tarif pajak menjadi 0.25 persen dari omset. Namun, setelah melakukan beberapa kali rapat dengan para menteri terkait, pemerintah sepakat untuk hanya menurunkan tarif pajak sampai 0.5 persen. Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah 23/2018. Penurunan tariff hanya diberikan sampai 0,5 persen karena penerimaan negara dapat mengalami penurunan yang signifikan dalam jangka pendek. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan mengatakan bahwa negara dapat kehilangan penerimaan 1-1.5 triliun di tahun 2018 karena penyesuaian tarif baru PP 23/2018.
PP 23/2018 SEBAGAI ANGIN SEGAR BAGI UMKM
Perekonomian Indonesia saat ini didukung oleh UMKM. Tahun lalu, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) mencatat, kontribusi sektor UMKM terhadap PDB meningkat dari 57,8 persen menjadi 60,34 persen. Insentif fiskal berupa penurunan tarif pajak UMKM tentu menjadi angin segar tersendiri bagi mereka. Sebab, secara otomatis pajak yang mereka bayarkan lebih rendah dari yang sebelumnya mereka bayarkan. Pengusaha akan mendapatkan tambahan simpanan modal yang dapat digunakan untuk mengembangkan usaha mereka, khususnya bagi pengusaha yang baru merintis. Selain itu, hal ini juga akan membuat pengusaha menjadi lebih kompetitif.
Kemudahan yang diterima oleh UMKM dari dirilisnya PP 23/2018 tidak hanya terkait penurunan tarif. Dalam peraturan terbaru, wajib pajak UMKM diberikan pilihan untuk memanfaatkan PP 23/2018 atau langsung menggunakan tarif normal pasal 17. Pembebasan ini sangat berguna bagi wajib pajak yang memiliki margin keuntungan yang rendah karena dapat langsung menggunakan tariff normal pasal 17. Selain itu, PP 23/2018 juga menyebutkan batasan waktu ( sunset clause ) bagi wajib pajak yang memilih menggunakan tarif final, yakni tiga tahun untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas, empat tahun untuk badan tertentu (persekutuan komanditer, koperasi, dan firma) dan tujuh tahun untuk orang pribadi.
Direktorat Jenderal Pajak optimis insentif fiskal PP 23/2018 menjadi daya tarik tersendiri bagi UMKM untuk masuk ke dalam administrasi perpajakan sehingga menambah basis data perpajakan Indonesia. Setelah wajib pajak UMKM masuk dalam sistem administrasi perpajakan, tugas aparatur pajak selanjutnya adalah melakukan pembinaan dan pengawasan. Sunset clause yang diberikan pemerintah dijadikan sebagai kurun waktu untuk membuat wajib pajak lebih sadar terkait kewajiban perpajakannya, terlebih batasan waktu dalam PP 23/2018 ini dapat digunakan untuk memecahkan skenario wajib pajak UMKM “Abadi”. Ketika wajib pajak menggunakan tarif PP 46/2013, mereka akan selamanya menggunakan tarif 1 persen sepanjang omset penghasilan mereka kurang dari 4,8 M dalam satu tahun. Hal ini cenderung dijadikan jalan penghindaran pajak oleh wajib pajak nakal dengan cara menurunkan omset mereka dibawah 4.8M. Selain itu, dampak lainnya adalah mereka cenderung tidak berhasrat untuk mengembangkan usahanya agar tidak dikenai tarif pajak yang lebih tinggi.
Berikut ini perbedaan PP 23 tahun 2018 dengan PP 46 tahun 2013:
Uraian |
PP No 46/2013 |
PP No 23/2018 |
Dasar Hukum |
PP 46/2013 |
PP 23/2018 |
Subjek pajak |
Orang Pribadi atau Badan |
Orang Pribadi dan Badan berbentuk koperasi, CV, Fa atau PT. |
Dikecualikan dari Subjek pajak |
BUT dan OP yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik menetap atau tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum dan badan ang belum beroperasi komersial atau belum melewati jangka waktu 1 tahun sejak beroperasi komersial |
|
Definisi peredaran bruto tertentu |
Penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. |
Penghasilan dari usaha tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. |
Dikecualikan dari pengenaan PPh |
Penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan. |
|
Tarif pph Final |
1% |
0.5% |
Dasar peredaran bruto tertentu |
Tahun pajak sebelumnya |
Tahun pajak sebelumnya |
Cara pengenaan |
Setiap bulan setiap tempat kegiatan usaha, setor sendiri |
Setiap bulan setiap tempat kegiatan usaha, setor sendiri dan dipotong pihak lain |
Jangka waktu pengenaan |
Tidak ada batasan |
Dibatasi:
|
Definisi peredaran bruto yang menjadi DPP |
Tidak ada |
Imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis |
Terkait pemotongan pajak oleh pihak lain |
Menunjukkan Surat Keterangan Bebas (SKB) yang dilegalisasi |
Menunjukkan Surat Keterangan |
Dengan demikian dari ketentuan PP No. 23 Tahun 2018, PT wajib menggunakan tarif PPh umum di tahun 2021 walaupun omset tahun sebelumnya masih Rp 4,8 miliar. Karena PP 23 berlaku sejak Juli 2018 maka kewajiban tarif PPh umum juga berlaku mulai Juli 2021.
Begitu juga dengan koperasi, CV, dan Fa wajib menggunakan tarif PPh umum di bulan Juli 2022. Sedangkan orang pribadi akan diwajibkan di tahun 2025.
CONTOH KASUS :
1. Pak Toni Wijaya sebagai pengusaha dengan omzet dalam setahun mencapai Rp3.500.000.000 dan mendirikan usahanya pada tahun 2018.
Artinya, Pak Toni Wijaya sebagai WP Pribadi yang melakukan usaha dengan skala UKM dapat memanfaatkan tarif PPh Final 0,5% sesuai PP 23 Tahun 2018.
Karena Pak Toni Wijaya merupakan WP Pribadi yang dapat menggunakan fasilitas PPh Final setengah persen hingga 7 tahun terhitung sejak 2018 dan berakhir pada 2024.
2. CV. Tunas Jaya didirikan pada tahun 2021 dengan omzet Rp. 4.800.000.000 dalam setahun dan memanfaatkan tarif PPh Final PP 23 Tahun 2018.
Karena perusahaan Tunas Jaya ini berbentuk CV, maka hanya dapat memanfaatkan fasilitas tarif PPh Final 0,5% ini hingga 2021 saja.
3. PT ABC memiliki usaha bengkel mobil dan terdaftar sebagai Wajib Pajak pada tanggal 24 Januari 2019. Peredaran bruto yang diperoleh PT ABC:
a. Tahun 2019: Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
b. Tahun 2020: Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
c. Tahun 2021: Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
d. Tahun 2022: Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
PT ABC dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu 3 (tiga) Tahun Pajak, yaitu sejak Tahun Pajak 2019 sampai dengan Tahun Pajak 2021. Untuk Tahun Pajak 2022 dan Tahun Pajak - Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (2a) atau Pasal 17 ayat(2a) dan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Tuan I memiliki usaha restoran dan dikenai Pajak Penghasilan final sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini sejak Tahun Pajak 2019, karena peredaran bruto Tuan I pada tahun 2018 kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pada bulan Agustus tahun 2019, peredaran bruto Tuan I telah mencapai Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Meskipun peredaran bruto Tuan I telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar deiapan ratus juta rupiah), Tuan I tetap dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 0.5% sampai dengan akhir Tahun Pajak 2019. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Tuan I pada Tahun Pajak 2020 dan seterusnya, dikenai Pajak Penghasilan dengan ketentuan umum berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar