Sabtu, 24 April 2021

Konsep Pajak Penghasilan Final (PPh Final) dalam UU PPh di Indonesia

Istilah PPh final bukanlah istilah yang asing di masyarakat Wajib pajak. Dalam berbagai literatur pajak berbahasa Inggris, istilah yang digunakan untuk merujuk pada PPh final, antara lain final tax, final tax liability, atau final withholding tax. Sementara dalam UU PPh di Indonesia, istilah PPh final identik dengan penerapan Pasal 4 ayat (2) walaupun secara eksplisit penerapannya juga tersebar ke dalam beberapa pasal lainnya dan sifat pengenaan pajaknya juga final.

Dengan demikian, selain dalam Pasal 4 ayat (2), ketentuan PPh final saat ini tersebar dalam beberapa pasal lain seperti Pasal 15, Pasal 17 ayat (2c), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 26. Setiap jenis PPh final tersebut memiliki aturan pajak tersendiri.

Konsep pengenaan pajak yang bersifat final ini diterapkan untuk kemudahan dan kesederhanaan pengenaan pajak serta untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. PPh final merupakan pajak yang dikenakan langsung saat wajib pajak menerima penghasilan. Pungutannya yang seketika membuat penghasilan yang dikenai PPh final tidak lagi diikutsertakan dalam penghitungan pajak terutang tahunan. Kendati demikian, penghasilan itu tetap harus dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT).

Pasal 13 PP 94 Tahun 2010 mengatur bahwa pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap termasuk :

a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang:

1) Bukan merupakan objek pajak;

2) Pengenaan pajaknya bersifat final; dan/atau

3) Dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang- Undang Pajak Penghasilan.

b. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan.

Dengan demikian, disamping harus berhubungan dengan kegiatan usaha, biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto hanya dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak umum. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajaknya secara final, tidak boleh dikurangkan untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.

Hal ini berarti penghasilan yang bersifat final tidak diakumulasikan dengan penghasilan lain yang non-final untuk dikenakan tarif progresif sesuai dengan tarif pasal 17 UU PPh. Dengan demikian, terminologi ‘final’ yang digunakan dalam PPh final merujuk pada kewajiban pajak yang sudah selesai atau berakhir.

 

Perbedaan PPh Final dan Tidak Final

Perbedaan PPh Final dan Tidak Final bisa dilihat misalnya terkait pengenaan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Adapun rinciannya sebagai berikut:

  1. Pada PPh Final, penghasilan tidak digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum dalam SPT Tahunan PPh Badan. Sedangkan, pada PPh Tidak Final penghasilan digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.
  2. Pada PPh Final, biaya sehubungan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai PPh tidak dapat dikurangi. Sedangkan, pada PPh Tidak Final biaya tersebut dapat dikurangkan.
  3. Pada PPh Final, bukti potong PPh tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak bagi pihak yang dipotong dan atau dipungut. Sedangkan, pada PPh Tidak Final bukti potong dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak bagi pihak yang dipotong atau dipungut.

 

Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final

Yang termasuk Objek Pajak PPh Final adalah sebagai berikut:

  1. PPh Final atas Bunga Deposito dan Tabungan  serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
  2. PPh Final atas Bunga Obligasi.
  3. PPh Final atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
  4. PPh Final atas Hadiah Undian.
  5. PPh Final atas Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek.
  6. PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya.
  7. PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
  8. PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estate dalam Skema Kontrak Investasi.
  9. PPh Final atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
  10. PPh Final atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
  11. PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri.
  12. PPh Final atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.
  13. PPh Final atas Penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.
  14. PPh Final atas Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap.

 

Koreksi Biaya atas Penghasilan yang Bersifat Final & Tidak Final

PT. Sejahtera Karya bergerak dalam bidang konstruksi yang dikenakan pajak secara final. Dalam suatu tahun, PT. Sejahtera Karya memperoleh penghasilan bruto sebagai berikut:

No.

Jenis Penghasilan

Nominal

1.

Penghasilan dari usaha yang telah dikenakan PPh yang bersifat Final

Rp300.000.000

2

Penghasilan bruto lainnya yang dikenakan PPh yang bersifat Non Final

Rp200.000.000

 

Total  Penghasilan Bruto

Rp500.000.000

Terdapat biaya bersama sebesar Rp. 250.000.000 atas jumlah penghasilan bruto tersebut yang tidak dapat dipisahkan. Berapakah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung penghasilan kena pajak PT. Sejahtera Karya?

Biaya yang dapat dikurangkan dihitung menggunakan pembebanan proporsionalitas sebagai berikut :

Biaya yang dapat dikurangkan = (Penghasilan yang dikenakan PPh tidak final / jumlah Penghasilan bruto) x Biaya bersama

   = ( 200.000.000 / 500.000.000) x 250.000.000

Dengan demikian, biaya yang dapat dikurangkan PT. Sejahtera Karya untuk menghitung penghasilan kena pajak adalah Rp100.000.000.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayat Jurnal Penyesuaian, Neraca Saldo dan Kertas Kerja - Riki Ardoni

A yat Jurnal Penyesuaian ( Adjusting Journal Entry ) atau ‘AJP’ adalah proses pencatatan perubahan saldo ak...