Selasa, 20 April 2021

CARA MENGHITUNG PPH BADAN


PPh BADAN

Disamping Orang pribadi dikenal juga subjek hukum PPh yang bukan manusia yaitu Badan hukum. Badan hukum merupakan organisasi atau sekelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu dan dapat menyandang hak dan kewajiban.

Bentuk-bentuk badan antara lain adalah perseroan komanditer, perseroan terbatas, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, firma, koperasi, kongsi, dana pensiun, yayasan, lembaga, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan bentuk usaha tetap. Tidak hanya itu, badan juga dapat berbentuk perkumpulan seperti asosiasi, perhimpunan, dan ikatan.

 

A. CARA MENGHITUNG PPH BADAN

Sebagai subjek pajak dalam negeri, badan memiliki kewajiban untuk membayar pajak sejak saat didirikan atau berkedudukan di Indonesia.

Kewajiban tersebut akan berakhir ketika badan dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.

Untuk menghitung pajak yang dikenakan pada badan atas penghasilan yang didapatkan, berikut mekanisme yang umum digunakan.

1. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak

Untuk mendapatkan nominal penghasilan kena pajak badan, pertama-tama wajib pajak badan perlu mengetahui besaran jumlah penghasilan bruto yang didapatkan selama 1 tahun berjalan. Kemudian, kurangi penghasilan bruto tersebut dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan (deductible expense).

Biaya yang dapat dikurangkan sebagaimana diatur dalam ketentuan fiskal adalah biaya yang terkait dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M). Biaya-biaya ini diatur dalam UU PPh Pasal 6, di antaranya:

  1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, contohnya biaya pembelian lahan, biaya promosi dan penjualan yang diatur berdasarkan PMK No. 02/PMK/03/2010
  2. Biaya penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
  3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
  4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta perusahaan untuk 3M
  5. Kerugian selisih kurs mata uang asing
  6. Biaya penelitian yang dilakukan di Indonesia
  7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
  8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
  9. Sumbangan penanggulangan bencana nasional
  10. Sumbangan penelitian yang dilakukan di Indonesia
  11. Sumbangan biaya pembangunan infrastruktur sosial
  12. Sumbangan fasilitas pendidikan
  13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga

Sementara di dalam perusahaan, terdapat biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan (non-deductible expense). Biaya ini diatur dalam Pasal 9 UU PPh, di antaranya:

  1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
  2. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota
  3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
  4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi
  5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan
  6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
  7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh
  8. Pajak penghasilan
  9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak orang pribadi atau orang yang menjadi tanggungannya
  10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham
    Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan
  11. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A UU PPh

Biaya yang termasuk ke dalam deductible expense tidak dapat digunakan sebagai pengurang untuk menghitung penghasilan kena pajak. Karena itu, ada baiknya untuk memisahkan terlebih dahulu antara deductible expense dan non-deductible expense dalam menghitung PPh Badan.

Biaya-biaya yang termasuk ke dalam non-deductible expense ini akan menimbulkan koreksi fiskal positif, dan biaya-biaya yang termasuk ke dalam deductible expense akan menimbulkan koreksi fiskal negatif.

Selanjutnya, didapatkan penghasilan neto fiskal, yaitu penghasilan neto yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri, baik dari kegiatan usaha maupun bukan, setelah melewati proses rekonsiliasi fiskal yang berdasarkan ketentuan perpajakan.

Penghasilan neto fiskal ini kemudian dikurangkan dengan kompensasi kerugian fiskal, yaitu sisa saldo kerugian badan dari tahun sebelumnya (jika ada). Melalui Pasal 6 ayat (2) UU PPh, pemerintah memperbolehkan wajib pajak badan untuk memperhitungkan kompensasi kerugian sehingga didapatkan angka Penghasilan Kena Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk menghitung PPh Badan terutang.

Sebagai informasi, kerugian fiskal yang akan dikompensasikan wajib dihitung berdasarkan aturan perpajakan terlebih dahulu dan bukan merupakan kerugian komersial.

Kemudian, hasil dari pengurangan penghasilan neto fiskal dan kompensasi kerugian fiskal tersebut adalah besaran penghasilan kena pajak yang dimaksud.

Jika penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya tersebut didapat kerugian sehingga tidak terdapat penghasilan kena pajak, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun berikutnya.

 

2. Penghitungan PPh Terutang

Untuk mendapatkan nominal PPh terutang atau pajak penghasilan yang dibayarkan, wajib pajak dapat mengalikan penghasilan kena pajak dengan tarif pajak yang berlaku.

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak yang dikenakan kepada badan adalah 25%. Besar tarif ini berlaku sampai tahun pajak 2019.

Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah menurunkan tarif umum PPh Badan menjadi :

    a. Sebesar 22% (Dua Puluh Dua Persen) Yang Berlaku Pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; Dan

    b. Sebesar 20% (Dua Puluh Persen) Yang Mulai Berlaku Pada Tahun Pajak 2022.

Sedangkan untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbuka (Go Public) dengan jumlah keseluruhan saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia paling sedikit 40%, dan memenuhi syarat tertentu, memperoleh tarif 3% lebih rendah dari tarif umum PPh Badan. Jadi, tarif PPh Badan Go Public sebesar 19% untuk tahun pajak 2020 dan 2021, lalu 17% mulai tahun pajak 2022.

Dan jangan lupa, Setelah mendapatkan besaran PPh yang terutang, mengkreditkan pajak-pajak lain, seperti:

  1. PPh lain yang sudah dibayarkan melalui mekanisme pemotongan (Withholding Tax) oleh pihak ketiga (PPh 23 dan PPh 22).
  2. Angsuran PPh Badan yang telah dicicil dan dibayarkan sendiri (PPh 25 Badan).
  3. PPh yang telah dibayarkan di luar Indonesia (PPh 24 Kredit Pajak Luar Negeri).

Hasil akhir, akan didapatkan perhitungan akhir PPh Badan, baik kurang bayar atau lebih bayar.

 

B. KETENTUAN FASILITAS PENGURANGAN TARIF

Berdasarkan Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, diatur bahwa Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp. 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).           

Jadi wajib pajak badan dalam negeri mendapatkan fasilitas pengurangan tarif seperti yang tertulis dalam pasal 31E UU PPh. Fasilitas pengurangan tarif ini ditentukan berdasarkan besaran peredaran bruto.

Jika peredaran bruto berada di antara Rp. 4,8 Miliar–Rp. 50 Miliar, maka wajib pajak badan mendapatkan fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto yang berjumlah Rp. 4,8 Miliar.

Berikut rumus fasilitas pengurangan tarif wajib pajak Badan dalam negeri :

      - Peredaran bruto kurang atau sama dengan Rp. 4,8 miliar:

50% x 22% x Penghasilan Kena Pajak

 - Peredaran bruto lebih dari Rp. 4,8 miliar s.d Rp. 50 miliar:

  • (50% x 22%) x Penghasilan Kena Pajak yang memperoleh fasilitas
  • 22% x Penghasilan Kena Pajak tidak memperoleh fasilitas.

Tetapi jika peredaran bruto di atas Rp50 miliar, akan dihitung berdasarkan ketentuan umum atau tanpa fasilitas pengurangan tarif. Hasilnya, besar PPh Badan tetap 22% dikalikan penghasilan kena pajak.

 

C. CONTOH SEDERHANA PENGHITUNGAN SPT PPH BADAN

Mari mencoba menghitung PPh Badan menggunakan penjelasan di atas. Berikut ini ada dua contoh penghitungan PPh Badan yang menggunakan fasilitas pengurangan tarif dan tidak. Mengutip dari laman Pajak.go.id, berikut contoh kasus penghitungan PPh Badan:

 

1. Contoh Penghitungan PPh Badan dengan Fasilitas Pengurangan Tarif Pasal 31E

Pada tahun 2020, PT Abjad XYZ memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp 6 Miliar. Selain itu, diketahui selama tahun berjalan tersebut, PT Abjad XYZ memiliki rincian beban dan pendapatan sebagai berikut:

  • Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bruto sebesar Rp. 5,4 miliar.
  • Mendapatkan penghasilan lainnya sebesar Rp. 50 juta.
  • Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya sebesar Rp30 juta.
  • Kompensasi kerugian fiskal dari tahun sebelumnya Rp. 10 juta.
  • Kredit PPh Pasal 25 Rp. 100 juta.
  • Kredit PPh Pasal 22 Rp. 10 juta.
  • Kredit PPh Pasal 23 Rp. 20 juta.

Berapa besaran PPh terutang PT Abjad XYZ untuk dibayar dan dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran penghasilan kena pajak PT Abjad XYZ:

a). Penghasilan Neto

Penghasilan Neto = Peredaran Bruto – Biaya 3M Peredaran Bruto

= Rp. 6.000.000.000 – Rp. 5.400.000.000

= Rp. 600.000.000

 

b). Penghasilan Neto Lainnya

Penghasilan Neto Lainnya = Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya

= Rp. 50.000.000 – Rp. 30.000.000

= Rp. 20.000.000

Total Penghasilan Neto = Rp. 600.000.000 + Rp. 20.000.000

            = Rp. 620.000.000

 

c). Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak = Total Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian


    Penghasilan Kena Pajak = Rp. 620.000.000 – Rp. 10.000.000 

                                     = Rp. 610.000.000

 

Karena omzet peredaran bruto PT Abjad XYZ di atas Rp. 4,8 miliar, maka memperoleh fasilitas pengurangan tarif :

  • Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas :
 
 
 
 
 
  • Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas

= Penghasilan Kena Pajak - Penghasilan Kena Pajak yang memperoleh fasilitas

= Rp. 610.000.000 – Rp. 488.000.000 = Rp. 122.000.000

 

Maka, besaran PPh terutangnya adalah :

     o (50% x 22%) x Rp. 488.000.000 = Rp. 53.680.000

     o 22% x Rp. 122.000.000              = Rp. 26.840.000

 

Total PPh Terutang = Rp. 53.680.000 + Rp. 26. 840.000

                                = Rp. 80.520.000

 

PT Abjad XYZ memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar :

= PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25

= Rp. 10.000.000 + Rp. 20.000.000 + Rp. 100.000.000

 

Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak tersebut.

Rp. 80.520.000 – Rp. 130.000.000= (Rp. 49.480.000)

Dalam hal ini, PT Abjad XYZ memiliki lebih bayar pajak sebesar Rp. 49.480.000,-

 

2. Contoh Penghitungan PPh Badan Tanpa Fasilitas Pengurangan Tarif Pasal 31E

Pada tahun 2020, PT Abjad XYZ memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp60 Miliar. Selain itu, diketahui selama tahun berjalan tersebut, PT Abjad XYZ memiliki rincian beban dan pendapatan sebagai berikut:

  • Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bruto sebesar Rp54 miliar.
  • Mendapatkan penghasilan lainnya sebesar Rp500 juta.
  • Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya sebesar Rp300 juta.
  • Kompensasi kerugian fiskal dari tahun sebelumnya Rp100 juta.
  • Kredit PPh Pasal 25 Rp500 juta.
  • Kredit PPh Pasal 22 Rp100 juta.
  • Kredit PPh Pasal 23 Rp400 juta.

Berapa besaran PPh terutang PT Abjad XYZ untuk dibayar dan dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran penghasilan kena pajak PT Abjad XYZ:

    a. Penghasilan Neto

= Peredaran Bruto – Biaya 3M Peredaran Bruto

= Rp. 60.000.000.000 – Rp. 54.000.000.000 = Rp. 6.000.000.000

 

    b. Penghasilan Neto Lainnya

= Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya

= Rp. 500.000.000 – Rp. 300.000.000 = Rp. 200.000.000

 

Total Penghasilan Neto = Rp. 6.000.000.000 + Rp. 200.000.000 

                                  = Rp. 6.200.000.000

 

    c. Penghasilan Kena Pajak

= Total Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian

= Rp. 6.200.000.000 – Rp. 100.000.000 = Rp. 6.100.000.000

 

Karena omzet Peredaran Bruto PT. Abjad XYZ di atas Rp. 50 miliar, maka tidak memperoleh fasilitas pengurangan tarif sehingga penghitungannya :

PPh Terutang :   

PPh Terutang = 22% x Penghasilan Kena Pajak

                    = 22% x Rp. 6.100.000.000 = Rp. 1.342.000.000

PPh terutang PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp. 1.342.000.000,-

 

PT Abjad XYZ memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar :

= PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25

= Rp. 100.000.000 + Rp. 400.000.000 + Rp. 500.000.000 = Rp. 1.000.000.000

Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak tersebut.

Rp. 1.342.000.000 – Rp. 1.000.000.000 = Rp. 342.000.000

Dalam hal ini, PT Abjad XYZ masih harus membayar pajak sebesar Rp. 342.000.000.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayat Jurnal Penyesuaian, Neraca Saldo dan Kertas Kerja - Riki Ardoni

A yat Jurnal Penyesuaian ( Adjusting Journal Entry ) atau ‘AJP’ adalah proses pencatatan perubahan saldo ak...