Senin, 26 April 2021

Pengertian, Tujuan dan Model P3B (Tax Treaty)

Pengertian P3B (Tax Treaty)

P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) atau yang biasa disebut sebagai Tax Treaty merupakan perjanjian pajak antara dua negara yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh/diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua pihak negara dengan tujuan untuk meminimalisir terjadinya pengenaan pajak berganda dan untuk menarik investasi modal asing ke dalam negeri. P3B digunakan untuk menentukan alokasi dari hak pemajakan suatu transaksi yang terjadi diantara negara sumber dan negara domisili. Dimana negara sumber adalah negara dengan tempat sumber penghasilan berasal dan negara domisili adalah negara dengan tempat wajib pajak tinggal ataupun menetap. 

P3B (tax treaty) merupakan kesepakatan antara dua negara untuk memodifikasi peraturan perundang-undangan perpajakannya masing-masing. Biasanya yang dimodifikasi adalah ketentuan mengenai pajak atas penghasilan saja. Jadi, pajak-pajak lainnya, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan, dan bea materai, tidak diatur dalam P3B. P3B muncul karena adanya benturan jurisdiksi perpajakan antara negara-negara yang punya modal (capital exporting countries) dan negara-negara yang mem-butuhkan modal (capital importing countries). Kedua negara tersebut melakukan hubungan ekonomi yang tidak terlepas dari aspek perpajakan (lihat gambar di samping). Akibat dari benturan ini, pengenaan pajak tidak dilakukan sama sekali di dua negara (tax evasion), atau bahkan dikenakan dua kali di masing-masing negara tersebut (double taxation). Untuk menghindari kedua efek tersebut, diperlukan adanya pengaturan-pengaturan antara kedua negara yang melakukan hubungan ekonomi. Pengaturan-pengaturan tersebut selanjutnya tertuang di dalam P3B. Sebagai ilustrasi sederhana melatarbelakangi munculnya P3B sebagai berikut:

  • Sukarto, Wajib Pajak dalam negeri, adalah pegawai dari PT ABC. Pada tahun 2006, sehubungan dengan pekerjaannya, dia harus melaksanakan tugasnya di Amerika Serikat selama 100 hari. Untuk itu, ia mendapat penghasilan sebesar US$10,000 dari PT ABC.
  • Ketentuan pajak domestik Amerika Serikat mengatur bahwa sumber penghasilan sehubungan dengan pekerjaan adalah pada negara tempat pekerjaan tersebut dilakukan. Sementara itu, Indonesia menetapkan bahwa sumber penghasilan sehubungan pekerjaan adalah pada negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan.
  • Jadi, pada kasus ini Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama menganggap berhak untuk memajaki penghasilan Sukarto karena dua-duanya menganggap negaranya adalah negara sumber penghasilan. Indonesia akan memajakinya dengan tarif progresif, sementara Amerika Serikat akan menerapkan pemotongan pajak dengan tarif 30%.
  • Fasilitas kredit pajak berdasarkan Pasal 24 UU PPh tidak dapat digunakan karena penghasilan Sukarto tersebut dianggap bersumber di Indonesia, bukan dari luar negeri. Dengan demikian, atas penghasilan Sukarto tersebut terjadi pengenaan pajak berganda.

Dalam rangka penyempurnaan aspek-aspek perpajakan internasional dalam UU PPh tersebut,  Indonesia melengkapi ketentuan-ketentuan perpajakannya melalui pengadaan P3B dengan negara-negara lain.

 

TUJUAN P3B (TAX TREATY)

Adapun tujuan adanya P3B seperti:

  • Peningkatan investasi modal dari luar negeri
  • Penyelesaian sengketa dalam P3B;
  • Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
  • Memberikan kepastian hukum; dan
  • Pembebasan pajak atas mahasiswa/pelatihan karyawan di negara tempat menempuh pendidikan maupun pelatihan

 

MODEL P3B 

Ada dua model utama perjanjian penghindaran pajak berganda yang digunakan sebagai acuan;

1. Model OECD

Draf model P3B yang diterbitkan di tahun 1963 memberikan prioritas hak pemajakan sebanyak mungkin kepada negara domisili. Hal ini mencerminkan kepentingan anggota OECD yang merupakan negara-negara maju, yaitu negara yang menjadi tempat domisili aliran modal. Oleh karenanya, isi Draf 1963 serupa dengan Draf London yang lebih menguntungkan negara-negara maju. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), dulu dikenal dengan nama Organization for European Economic Co-operation (OEEC), dibentuk pada tahun 1948 dengan jumlah anggota sebanyak 16 negara. Pendiri dari OEEC adalah Prancis, United Kingdom (UK), dan Austria. Kemudian, pada tahun 1955, Jerman bergabung menjadi anggota dari OEEC. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk mengimplementasikan bantuan administrasi terhadap kerangka kerja dari the Marshall Plan dalam melakukan rekonstruksi kawasan Eropa setelah Perang Dunia II. 

 

2. Model UN

Berlatar belakang pergerakan PBB yang mulai memperbarui masalah kepentingan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda akibat tingginya arus modal dari negara maju ke negara berkembang, Sekjen PBB menerbitkan The United Nations Model Double Taxation Convention Between Developed and Developing Countries atau dikenal dengan nama Model UN. 

PBB Model atau dikenal dengan nama UN Model memiliki tujuan tax treaty yang lebih luas, yaitu meningkatkan investasi asing, serta sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari negara-negara berkembang. Berdasarkan tujuan ini, Model UN menginginkan hak pemajakan lebih banyak di negara berpenghasilan sehingga pada perumusan pasal-pasal, definisinya lebih luas ketimbang model OECD.

Kedua model ini menjadi acuan yang digunakan oleh negara-negara yang akan melakukan perjanjian. Indonesia sendiri membentuk dan mengembangkan modelnya sendiri yang dikenal dengan nama Model Indonesia. Model ini merupakan penggabungan dan pengembangan dari dua model utama.

 

PERBEDAAN ANTARA OECD MODEL DAN UN MODEL 

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, perbedaan mendasar antara OECD Model dan UN Model terletak pada kepentingan pembagian hak pemajakan. OECD berkeinginan agar hak pemajakan diberikan sebanyak mungkin kepada negara domisili. Sebaliknya, UN berkeinginan hak pemajakan diberikan kepada negara sumber penghasilan. Dibawah ini akan dijelaskan secara ringkas terkait perbedaan mendasar antara OECD Model dan UN Model.          

1). Perbedaan dalam tataran tujuan diadakannya P3B:

  a. dalam OECD Model, tujuan utama dari suatu P3B adalah untuk meningkatkan perdagangan antara negara-negara yang menandatangani P3B dengan cara menghilangkan pajak berganda secara internasional;

   b. dalam UN Model, tujuan P3B lebih luas, yaitu untuk meningkatkan investasi asing ke negara-negara berkembang. Selain itu, tujuan lainnya yang hendak dicapai adalah sebagai alat untuk pertumbuhan ekonomi dan sosial dari negaranegara berkembang.

2). Perbedaan dalam tataran pasal-pasal substantif yang mengatur hak pemajakan. UN Model sebagai representasi dari negara-negara berkembang tentunya ingin mendapatkan hak pemajakan yang lebih banyak di negara sumber penghasilan. Sebaliknya, OECD Model berkeinginan hak pemajakan lebih banyak ada di negara domisili. Dengan perbedaan kepentingan tersebut, terdapat perbedaan perumusan dalam pasal-pasal antara OECD Model dan UN Model.

 

BEBERAPA HAL YANG DIMODIFIKASI PADA P3B

P3B (tax treaty) merupakan kesepakatan antara dua negara untuk memodifikasi peraturan perundang-undangan perpajakannya masing-masing. Biasanya yang dimodifikasi adalah ketentuan mengenai pajak atas penghasilan saja. Jadi, pajak-pajak lainnya, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan, dan bea materai, tidak diatur dalam P3B. Dengan merujuk ke Model P3B Indonesia, ketentuan-ketentuan dalam UU PPh yang dimodifikasi antara lain sebagai berikut:

  1. Pengertian Subjek Pajak Dalam Negeri
  2. Perpajakan atas Laba Usaha dan Bentuk Usaha Tetap (But)
  3. Pelayaran dan Penerbangan
  4. Perpajakan atas Penghasilan dari Modal
  5. Perpajakan atas Penghasilan dari Harta Tidak Bergerak
  6. Perpajakan atas Penghasilan dari Pengalihan Harta (Capital Gain)
  7. Perpajakan atas Penghasilan dari Pekerjaan
  8. Perpajakan atas Penghasilan Lainnya
  9. Metode Penghindaran Pajak Berganda

 

PROSEDUR PENERAPAN P3B

Untuk menerapkan perjanjian penghindaran pajak berganda ini, ada tahapan dalam prosedur yang perlu dilalui, di antaranya:

  1. Mencari tahu jika subjek pajak, objek pajak, negara, dan ketentuan pemberlakukan P3B yang dibahas termasuk dalam cakupan atau ruang lingkup dari perjanjian penghindaran pajak yang bersangkutan.
  2. Memastikan definisi penghasilan yang dibahas untuk memastikan penghasilan tersebut akan masuk dalam ketentuan atau pasal substantif yang tepat.
  3. Menentukan pasal substantif yang berlaku. Tahap ini penting karena akan menentukan negara yang akan menerima hak pemajakan.
  4. Menghilangkan dampak pajak berganda jika seandainya dalam pasal-pasal substantif dalam perjanjian itu, masing-masing negara diberikan hak pemajakan dengan cara mewajibkan negara domisili untuk memberikan keringanan pajak melalui metode pembebasan (exemption method) atau metode kredit (credit method) yang diatur dalam ketentuan domestiknya.
  5. Jika masih terdapat perbedaan atau belum terbentuknya kesepakatan antar negara, tahap terakhir dalam penerapan ini adalah menyelesaikan masalah pajak berganda melalui prosedur persetujuan bersama atau mutual agreement procedure (MAP).

 

SYARAT MEMANFAATKAN P3B

Berdasarkan PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, pemungut/pemotong pajak dapat memungut/memotong pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B dengan syarat sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam UU PPh dan ketentuan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda. 

Pada umumnya, tarif P3B dibuat lebih kecil daripada tarif aturan domestik. Untuk memanfaatkan tarif ini, subjek pajak luar negeri (SPLN) harus menunjukkan Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence.

2. Penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia. 

Jika penerima penghasilan merupakan subjek pajak dalam negeri, akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23, atau Pasal 4 ayat 2. Sedangkan menurut undang-undang yang berlaku, pemotongan PPh untuk subjek pajak luar negeri adalah PPh 26 sebesar 20%. Namun, pemberi penghasilan di Indonesia boleh tidak menggunakan pasal tersebut, tetapi menggunakan perjanjian penghindaran pajak berganda ini.

Penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. Artinya, hanya negara yang memiliki perjanjian dapat memanfaatkan tarif khusus ini. Negara lain di luar perjanjian penghindaran pajak dengan Indonesia tidak dapat memanfaatkannya.

3.  Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya.

Untuk memanfaatkan tarif P3B ini, SPLN perlu memperlihatkan SKD yang telah memenuhi persyaratan lainnya, seperti menggunakan Form DGT. Ini adalah formulir yang diisi oleh SPLN yang telah menyelesaikan double taxation convention (DTC) dengan Indonesia. Formulir ini wajib dilengkapi dengan benar dan ditandatangani, serta disertifikasi oleh pihak berwenang yang sah atau kantor pajak resmi di negara penerimaan penghasilan sebelum diserahkan ke kustodian Indonesia.

Form DGT digunakan sesuai periode yang tercantum pada SKD dan disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPT Masa. 

4. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B

Ada batasan agar pemanfaatan P3B tidak disalahgunakan oleh WPLN, di antaranya:

  • Substansi ekonomi dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi.
  • Bentuk hukum yang sama dengan substansi ekonomi dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi.
  • Kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebur mempunyai kewenangan yang cukup untuk melakukan transaksi.
  • Aset tetap dan aset tidak tetap yang cukup serta memadai untuk melaksanakan kegiatan usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia.
  • Pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian serta keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan.
  • Kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga, dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia. 

5. Penerima penghasilan merupakan beneficial owner dalam hal dipersyaratkan dalam P3B

Masih menurut peraturan yang sama, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar WPLN dianggap sebagai beneficial owner. Bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee.

Sedangkan Bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit. Persyaratan WPLN badan ini agar dianggap sebagai beneficial owner adalah:

  • Mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia
  • Penghasilan badan yang digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain tidak lebih dari 50%. Penghasilan badan yang dimaksud di sini adalah seluruh penghasilan WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai dengan laporan keuangan non-konsolidasi WPLN.
  • Menanggung risiko atas aset, modal, atau kewajiban yang dimiliki dan tidak mempunyai kewajiban (tertulis maupun tidak tertulis) untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayat Jurnal Penyesuaian, Neraca Saldo dan Kertas Kerja - Riki Ardoni

A yat Jurnal Penyesuaian ( Adjusting Journal Entry ) atau ‘AJP’ adalah proses pencatatan perubahan saldo ak...