Jumat, 30 April 2021

PERBEDAAN JASA KONSTRUKSI PADA PPH PASAL 23 DAN PPH Pasal 4 AYAT (2)

Pajak Penghasilan Jasa Konstruksi


PPh Jasa Konstruksi

Pengenaan Pajak Penghasilan atas Jasa Konstruksi mengalami dispute dan dinamika tersendiri. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), jasa konstruksi disebutkan dalam dua pasal yang berbeda. Selain di kenakan PPh final pasal 4 Ayat (2) huruf d dan jasa konstruksi juga dapat dikenakan pemotongan PPh tidak final, PPh pasal 23.

 

PERBEDAAN SUBJEK PAJAK

Pasal 4 ayat (2) huruf d :

“Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan”

 

Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 :

“Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas :

1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan

2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain

 

Jika kita cermati  bunyi Pasal 4 ayat (2) huruf d maupun Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh, maka akan dapat kita lihat bahwa penggunaan istilah untuk ‘jasa konstruksi’ di kedua pasal tersebut berbeda.

Dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh frase kata yang digunakan adalah “usaha jasa konstruksi. Sementara dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh, frase yang digunakan hanya “jasa konstruksi tanpa didahului kata ‘usaha’ seperti di Pasal 4 ayat (2).

Perbedaan kedua frase kata dalam kedua pasal tersebut mengindikasikan bahwa subjek pajak yang dimaksud kedua pasal itu juga berbeda. Perbedaan tersebut ada pada ada atau tidak nya Sertifikasi Badan Usaha pada Wajib pajak meskipun jasa yang dimaksudkan nyaris sama, yaitu jasa konstruksi.


A. JASA KONSTRUKSI PPH FINAL Pasal 4 Ayat (2)

Merujuk pada frase kata “usaha jasa konstruksi” yang digunakan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, Subjek pajak yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh adalah subjek/ wajib pajak yang bidang usahanya secara formal adalah jasa konstruksi. Artinya, telah memiliki Sertifikasi dan Kualifikasi sebagai profesional dalam bidang konstruksi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nomor 11 Tahun 2006.

Kesimpulan ini sejalan dengan memperhatikan historis sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008; PP Nomor 40 Tahun 2009, Pengenaan PPh Final atas jasa konstruksi yang sebelumnya diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 140 Tahun 2000.

Dalam PP Nomor 140 Tahun 2000 kala itu menyebut secara implisit bahwa subjek pajak yang tercakup dalam PP tersebut hanyalah pengusaha konstruksi yang sudah memperoleh sertifikasi dan kualifikasi dalam bidang konstruksi. Bahkan umumnya sudah mengantongi izin usaha di bidang konstruksi (Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi/SIUJK).

Lebih lanjut dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 Pasal 1 angka 4, 5 dan angka 6 disebutkan sebagai berikut:

4.    Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.

5.    Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan tau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build).

6.    Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.”

Frase kata “…yang dinyatakan ahli yang profesional…” dalam ketiga definisi tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya PP Nomor 51 Tahun 2008 memang khusus diperuntukkan bagi mereka yang sudah mendapat Sertifikasi dan Kualifikasi sebagai profesional dalam bidang konstruksi.

Dalam ketentuan umum jasa konstruksi, seperti dinyatakan dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11a Tahun 2008, salah satu wujud dari pengakuan keahlian dan profesionalitas jasa konstruksi tersebut adalah dengan adanya Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK).

SBU adalah sertifikat tanda bukti pengakuan formal atas tingkat/kedalaman kompetensi dan kemampuan usaha dengan ketetapan klasifikasi dan kualifikasi usaha. Jadi dari dokumen ini akan tercantum klasifikasi atau jenis pekerjaan yang dapat dilaksanakan oleh pengusaha jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan, dan/atau pengawasan) serta kualifikasinya sekaligus (kecil, menengah, atau besar).

SBU hanya berlaku selama 3 tahun sejak tanggal diterbitkan dengan ketentuan wajib melakukan registrasi ulang pada tahun ke-2 dan tahun ke-3. Jika tidak melakukan registrasi ulang, maka SBU yang bersangkutan dianggap tidak berlaku untuk tahun yang bersangkutan dan tahun berikutnya. Meski SBU-nya dinyatakan tidak berlaku, tetapi pengusaha jasa konstruksi tersebut tetap akan tercantum dan teregister di dalam database LPJK, namun dapat dikatakan tidak mempunyai kualifikasi. Nah mereka inilah yang dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009 dapat dikenakan tarif PPh Final lebih besar, yaitu 4% untuk jasa pelaksanaan konstruksi dan 6% untuk jasa perencanaan maupun pengawasan konstruksi.

Sedangkan yang SBU-nya masih berlaku dikenakan tarif 2% untuk pelaksana konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha kecil, 3% untuk pelaksana konstruksi yang memiliki kualifikasi usaha menengah dan besar serta tarif 4% untuk jasa perencanaan dan pengawasan. Tarif jasa konstruksi Pasal 4 ayat (2)

No.

Klasifikasi Kualifikasi Jasa Konstruksi

Pelaksana

Perencanaan/ Pengawas

1

Kualifikasi Usaha Kecil

2%

4%

2

Kualifikasi Usaha Menengah dan Besar

3%

4%

3

Tidak memiliki Kualifikasi Usaha

4%

6%

*jumlah pembayaran tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

 

Khusus untuk jasa pelaksanaan konstruksi, kualifikasi usaha itu bahkan dibagi ke dalam tiga kelompok yakni: kecil, menengah dan besar. Menurut Peraturan LPJK Nomor 11 Tahun 2006 pengelompokkan tersebut didasarkan pada apa yang disebut grade yaitu tingkat kemampuan atau kompetensi dari si kontraktor, seperti tampak pada tabel berikut :

Kualifikasi

Kelompok

Grade

Kompetensi

Peruntukan

Kecil

K3

1

Rp 0 - Rp 100 Juta

Pengusaha perorangan dan Badan usaha

Kecil

K2

2

Rp 100 Juta – Rp 300 Juta

Pengusaha perorangan dan Badan usaha

Kecil

K1

3

Rp 300 Juta – Rp 600 Juta

Pengusaha perorangan dan Badan usaha

Kecil

 

4

Rp 600 Juta – Rp 1 Miliar

Pengusaha perorangan dan Badan usaha

Menengah

M

5

Rp 1 Miliar – Rp 10 Miliar

Badan usaha

Besar

B2

6

Rp 1 Miliar – Rp 25 Miliar

Badan usaha

Besar

B1

7

Rp 1 Miliar – tidak dibatasi

Badan usaha (termasuk asing)

 

 

B. JASA KONSTRUKSI PPh 23 (TIDAK FINAL)

Dalam hal Wajib Pajak yang belum teregister dalam LPJK dan otomatis tidak memiliki Sertifikasi Badan Usaha, maka pengenaan PPh atas jasa konstruksi menggunakan PPh Pasal 23 untuk wajib pajak Badan dan PPh Pasal 21 untuk wajib pajak orang pribadi.

Sampai saat ini, masih ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa meskipun pengusaha jasa konstruksi belum memiliki izin usaha dan sertifikat, tetap dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 jo. PP Nomor 40 Tahun 2009. Alasannya karena Pasal 4 ayat (2) UU PPh merupakan ketentuan yang lex specialis. Namun jika berpegang pada pendapat ini, maka akan ada kesulitan bagi pengusaha jasa konstruksi yang bersangkutan terutama bila dikaitkan dengan masih adanya pemotongan PPh Pasal 23 (tidak final) atas ‘jasa-jasa konstruksi’ seperti berikut:

Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi (Pasal 23 UU PPh jo. Pasal 1 ayat (2) huruf r Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 244/PMK.03/2008);

Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi (Pasal 23 UU PPh jo. Pasal 1 ayat (2) huruf s PMK Nomor 244/PMK.03/2008).

Jika ditelisik lebih jauh, maka akan dijumpai bahwa kedua jenis jasa tersebut di atas dalam praktiknya merupakan satu kesatuan pekerjaan dalam sebuah proyek pembangunan konstruksi. Lalu, apakah itu berarti pengusaha konstruksi yang tidak mempunyai izin usaha dan/atau sertifikat jasa konstruksi ‘dipaksa’ harus memilah mana pekerjaan yang dikenakan PPh Final dan mana yang dikenakan PPh Tidak Final (PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 21)? Di samping itu, ketentuan ini juga akan mempersulit terutama dalam menentukan mana biaya-biaya usaha yang non-deductible expense (yang terkait dengan PPh Final) dan mana yang deductible (yang tidak terkait PPh Final).

 
 

C. DINAMIKA PERMASALAHAN PPh ATAS JASA KONTRUKSI

Pasal 23 UU PPh yang di antaranya mengatur pemotongan PPh sebesar 2% atas jasa konstruksi dan tidak bersifat final tidak diatur lagi dengan pengaturan yang lebih teknis.pengaturan teknis PPh Pasal 23 yang ada terkait dengan cakupan imbalan jasa lain. hal tersebut diatur dalam Peraturan Menkeu (Peraturan Menkeu No. 141/PMK. 03/2015) yang menyarakan bahwa jasa lainnya mencakup di antaranya beberapa jasa yang menjadi subklafikasi dari jasa konstruksi.

Di dalam Pasal 21 UU PPh 2008, imbalan jasa tenaga ahli juga menjadi objek pemotongan pajak. Ketentuan ini dijabarkan lagi dengan Peraturan Menkeu (Peraturan Menkeu No. 252/PMK.03/2008) yang mengatur petunjuk pelaksanaannya dan Peraturan Dirjen Pajak (Peraturan Dirjen Pajak No. Per- 16/PJ/2016) yang mengatur pedoman teknis pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26. Peraturan Dirjen Pajak tersebut di antarannya mengatur bahwa tenaga ahli mencakup di antarannya adalah arsitek. dengan demikian, imbalan kepada Arsitek orang pribadi sebagai tenaga ahli merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21

Jadi, berdasarkan rujukan beberapa Peraturan di atas, jasa konstruksi pada saat yang bersamaan dapat dikenakan :

  • PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan pelaksanaan terkait (Peraturan Pemerintah No. 51/2008; Peraturan Pemerintah No. 40/2009);
  • PPh Pasal 23 dengan tarif 2% atas jasa konstruksi sesuai Pasal 23 UU PPh dan ketentuan ini tidak memerlukan Peraturan pelaksanaan;
  • PPh Pasal 23 dengan tarif 2% atas jasa lainnya sesuai Pasal 23 UU PPh dan Peraturan pelaksanaan terkait (Peraturan Menkeu No. 141/PMK.03/2015);
  • PPh Pasal 21 atas imbalan jasa orang pribadi selaku tenaga ahli arsitek sesuai Peraturan pelaksanaan terkait (Peraturan Menkeu No. 252/PMK.032008)

 

 

Berdasarkan uraian di atas dan merujuk pada Gambar 1, pengenaan pajak atas imbalan jasa konstruksi bersifat final sesuai PP No. 51/2008 jo. PP No. 40/2009 dan ketentuan jasa konstruksi pada Pasal 23 UU PPh dan peraturan MenKeu No. 141/PMK.03/2015 sepertinya menjadi ompong karena tidak memiliki kekuatan Hukum mengikat lagi. Demikian pula, objek PPh Pasal 21 atas jasa tenaga ahli Arsitek menjadi tidak efektif lagi dikarenakan jasa Arsitek merupakan bagian dari jasa konstruksi dan sudah menjadi objek PPh Pasal 4 (2).

 

 

 

Ayat Jurnal Penyesuaian, Neraca Saldo dan Kertas Kerja - Riki Ardoni

A yat Jurnal Penyesuaian ( Adjusting Journal Entry ) atau ‘AJP’ adalah proses pencatatan perubahan saldo ak...