Rabu, 12 Mei 2021

PPH Pasal 26 : Pengertian, Subjek, Objek, Tarif Dan Perhitungannya


Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, yang selanjutnya disebut PPh Pasal 26, adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

 

Undang-undang pajak Penghasilan Pasal 26

Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri Selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto..”

Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.

 

Pemotongan PPh 26

Pemotongan pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan ini wajib dilaksanakan oleh:


1. Badan pemerintah;
2. Subjek pajak dalam negeri;
3. Penyelenggara kegiatan,
4. Bentuk Usaha Tetap, atau 
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
 

Dimana mereka yang disebutkan diatas, melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.

 

Subjek PPh 26

Wajib Pajak Luar Negeri tersebut dapat merupakan :

1) Wajib Pajak Orang Pribadi
2) Badan

Menurut Pasal 2 ayat (4) Undang UU PPh, berikut individu atau usaha yang termasuk Wajib Pajak Luar Negeri :

  1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di indonesia, orang pribadi yang berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di indonesia; dan
  2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di indonesia, orang pribadi yang berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di indonesia.”

Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui Bentuk Usaha Tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.

Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui Bentuk Usaha Tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.


Perbedaan PPh 21, PPh 23  dengan PPh 26

Perbedaan paling mendasar yang dapat kita simpulkan antara PPh 21, PPh 23  dengan PPh 26 adalah dilihat dari pihak yang memperoleh atau menerima penghasilan terletak dari status Subjek Pajaknya. Pada PPh 21 dan PPh 23, pihak yang memperoleh atau menerima penghasilan merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN). Sedangkan  pada PPh 26 pihak yang memperoleh atau menerima penghasilan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN).

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:

  1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
  2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
  3. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

 

Objek PPh Pasal 26

Objek PPh 26 merupakan gabungan objek PPh 21 dan PPh 23. Hanya saja Perbedaannya terletak pada Subjek Pajaknya. Jika yang menerima atau memperoleh penghasilan merupakan Wajib Pajak luar Negeri, maka pengenaan Pajak atas penghasilannya berdasarkan Pasal 26 UU PPh.

Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:

1. Penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk Dividen, Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 
2. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan; 
3. Hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 
4. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya; 
5. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau 
6. Keuntungan karena pembebasan utang.

 

Tarif PPh Pasal 26

 

No.

Objek Pajak

Tarif

1

Dividen;

  20% × Jumlah Bruto atau Tax Treaty (P3B)

2

Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian Utang;

3

Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

4

Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

5

Hadiah dan penghargaan;

6

Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;

7

Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau

8

Keuntungan karena pembebasan utang.

9

Penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT), kecuali yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) UU PPh. (Keputusan MenKeu No. 434/KMK.04/1999)

20% × 50% × Harga Jual

10

Pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di Luar Negeri (Keputusan MenKeu No. 624/KMK.04/1994)

 

a. Premi yang dibayarkan oleh pemegang polis kepada perusahaan asuransi di luar Negeri

20% × 50% × Premi

b. Premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar Negeri

20% × 10% × Premi

c. Premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar Negeri

20% × 5% × Premi

11

Penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (3c) UU PPh yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak LUAR NEGERI (Peraturan MenKeu No. 258/PMK.03/2008)

20% × 25% × Harga Jual

12

Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4). (Peraturan Menkeu No. 14/PMK.03/2011)

20% × (PKP - PPh BUT)

 

Terbaru, Pemerintah telah merilis Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha. Terbitnya aturan turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (22/2/2021).

Salah satu pengaturan yang masuk dalam PP tersebut adalah ruang penurunan tarif PPh Pasal 26 atas bunga obligasi sesuai dengan amanat UU PPh yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja. Dalam PP ini, tarif sebesar 20% bisa diturunkan menjadi 10%.

“Tarif pemotongan pajak … dirurunkan menjadi sebesar 10% atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda,” demikian bunyi penggalan Pasal 3 ayat (3) PP yang berlaku mulai 2 Februari 2021 ini.

Adapun bunga obligasi yang bisa mendapatkan penurunan tarif PPh Pasal 26 termasuk :

1. Bunga dari obligasi dengan kupon sebesar jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.

2. Diskonto dari obligasi dengan kupon sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan.

3. Diskonto dari obligasi tanpa bunga sebesar selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.

Penurunan tarif PPh Pasal 26 tersebut mulai berlaku 6 bulan terhitung sejak berlakunya PP No. 9 Tahun 2021. Adapun ketentuan mengenai bunga obligasi atas obligasi yang diterbitkan berdasarkan pada prinsip syariah berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan dalam PP ini.

 

Contoh Perhitungan PPh 26

1. misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 

 
2. Aland Addison yang adalah seorang warga negara Inggris yang memiliki 25% saham atas PT Jayaraya Indonesia. Tahun ini Aland menjual seluruh sahamnya senilai Rp8 miliar kepada Charles seorang warga negara Argentina. Asumsikan tidak ada P3B antara Indonesia dan Argentina serta Inggris sehubungan dengan transaksi tersebut. Hitunglah PPh Pasal 26 dari transaksi tersebut?

Jawaban:

PPh Pasal 26 = 20% x 25% x Rp 8.000.000.000 = Rp 400.000.000 (bersifat final).

Menurut ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham, maka penghasilan atas penjualan saham tersebut dikenakan pajak sebesar 20% dari perkiraan Penghasilan Neto, sedangkan besarnya Penghasilan Neto adalah 25% dari Harga Jual.

Jika ada P3B antara negara yang terkait transaksi tersebut (penjual berstatus sebagai wajib pajak luar negeri), pemotongan PPh Pasal 26 hanya dilakukan apabila hak pemajakan berdasarkan P3B berada pada pihak Indonesia.

Penting bagi wajib pajak yang akan memotong pph pasal 26 kepada wajib pajak luar negeri untuk mengetahui apakah wajib pajak luar negeri tersebut berasal dari negara yang mempunyai tax treaty atau P3B dengan Indonesia atau tidak. Sebab ketentuan tarif pajaknya akan berbeda.

3. Seorang atlet dari China yang ikut mengambil bagian dari perlombaan lari maraton di Indonesia berhasil meraih juara dan memperoleh hadiah uang tunai sebesar Rp100.000.000. Atas penghasilan dari hadiah tersebut dikenakan PPh Pasal 26. Hitunglah PPh Pasal 26?

Jawaban:

PPh Pasal 26 = 20% x Rp 100.000.000 = Rp 20.000.000

Maka, atas penghasilan yang diterima oleh atlet dari China tersebut akan dipotong PPh Pasal 26 sebesar Rp 20.000.000.

4. Mike adalah karyawan asing pada perusahaan PT Dira Consulting. Mike tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari. Mike sudah beristri dan mempunyai seorang anak. Pada bulan april 2016 Mike memperoleh gaji sebesar US$10.000 sebulan. Kurs yang berlaku adalah Rp10.500,- per US$ 1. Hitunglah PPh Pasal 26?

Jawaban:

Penghasilan bruto berupa gaji sebulan: US$10.000 x Rp 10.500 = Rp 105.000.000

PPh Pasal 26 = 20% x Rp 105.000.000 = Rp 21.000.000

Jadi, PPh pasal 26 atas gaji Mike bulan April 2016 adalah Rp 21.000.000

5. PT. Berkah Wijaya Prima memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan bangunan bertingkat ke PT XYZ yang merupakan perusahaan asuransi di luar negeri dengan membayar jumlah premi pada tahun 2015 sebesar Rp2 miliar. Hitunglah PPh Pasal 26 dari PT. Berkah Wijaya Prima tahun 2015?

Jawaban:

Penghitungan PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut:

Perkiraan penghasilan neto

=

50% x Rp2.000.000.000

=

Rp1.000.000.000

PPh Pasal 26

=

20% x Rp1.000.000.000

=

Rp200.000.000

Sementara, apabila PT. Berkah Wijaya Prima mengikuti asuransi melalui perusahaan yang ada di Indonesia, misal PT Asuransi Raya, dengan membayar jumlah premi yang sama sebesar Rp2 miliar. PT Asuransi Raya mengikutkan (reasuransi) perusahaan tersebut ke perusahaan asuransi yang berada di luar negeri, misalnya PT XYZ, dengan membayar premi sebesar Rp1miliar. Maka ketentuan PPh Pasal 26 adalah sebagai berikut:

Perkiraan penghasilan neto

=

10% x Rp1.000.000.000

=

Rp100.000.000

PPh Pasal 26 PT. Berkah Wijaya Prima

=

20% x Rp100.000.000

=

Rp20.000.000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayat Jurnal Penyesuaian, Neraca Saldo dan Kertas Kerja - Riki Ardoni

A yat Jurnal Penyesuaian ( Adjusting Journal Entry ) atau ‘AJP’ adalah proses pencatatan perubahan saldo ak...